Cara Kerja Obat Antineoplasma

Cara Kerja Obat Antineoplasma menurut Golongannya
Kemoterapi Ajuvan 

Pemberian kemoterapi dosis tunggal telah dapat dibuktikan dan kemudian diperbaiki dengan kemoterapi secara kombinasi, seperti penggunaan kombinasi obat – obat antineoplastik dengan cara kerja yang berbeda dan efek samping terbatas (limited overlapping), dilanjutkan dengan interval masa istirahat. Hasil yang dicapai dengan menggunakan kombinasi kemoterapi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti heterogenitas tumor, sensitifitas terhadap obat dan efek sinergis dari obat – obatan kombinasi tersebut. Walaupun dengan kemoterapi kontrol terhadap tumor telah dapat diperlihatkan secara klinis, namun secara klinis penggunaan kombinasi kemoterapi telah memperlihatkan pengaruh yang besar dengan menunjukkan tidak adanya residual tumor setelah pemberian pengobatan awal. Setelah operasi reseksi total, sebagian besar penyakit kanker mempunyai kemungkinan metastase ke bagian lain jika tidak diberikan kemoterapi profilaksis. Kombinasi kemoterapi pada cara ini disebut kemoterapi ajuvan (adjuvant chemotherapy). 

Manfaat pengobatan kemoterapi ajuvan telah diperlihatkan pada sejumlah penelitian prospektif secara acak (random) pada tumor anak dan menunjukkan tidak adanya mikrometastase pada saat operasi 3. Efektifitas / keberhasilan kemoterapi ajuvan mungkin berhubungan dengan perbedaan antara mikrometastase dan metastase yang nyata secara klinis ; 
  1. Berkurangnya sel – sel tumor
  2. Sebagian besar sel – sel berada dalam siklus sehingga peka terhadap kemoterapi (Salmon 1979)
  3. Semua sel terkena dengan konsentrasi obat yang adekuat (tidak berhubungan dengan vaskularisasi tumor)
  4. Resistensi berkurang (Goldie dan Coldman 1979) 3
Kemoterapi Pre-operatif 

Terapi prabedah atau neoadjuvant telah banyak digunakan untuk mencegah / mengatasi beberapa masalah operasi seperti ruptur dari tumor Wilms di tengah – tengah operasi. Pemberian kemoterapi neoajuvan diikuti dengan terapi standar pasca operasi telah memperlihatkan hasil yng lebih baik daripada cara standar sebelumnya (Lemerle dan kawan - kawan 1983) 3. Suatu keuntungan yang besar adalah operasi akan lebih mudah dilaksanakan dan sering tumor dapat diangkat secara utuh, dengan rendahnya insidens sekuele akibat operasi. Yang menarik pada tumor Wilms adalah mengecilnya ukuran tumor dan rendahnya insidens penyebaran setelah diberikan kemoterapi serta memperbaiki prognosis dengan meningkatnya proporsi tumor stadium I (Lamerle dan kawan - kawan 1983). Respons terhadap pengobatan biasanya berdasarkan pada digunakannya lebih dari satu macam obat dan dapat dievaluasi pada pasien secara perorangan sehingga baik digunakan untuk pengobatan pasca operasi. Namun demikian, manfaat dari berbagai obat tunggal terhadap kemoterapi kombinasi belum diketahui. Penelitian aktivitas suatu obat antineoplastik tunggal dapat dilakukan dengan memberikan untuk waktu yang pendek pada tumor kemudian dievaluasi sebelum pemberian kemoterapi kombinasi. 

Kemoterapi Dosis Tinggi 

Secara eksperimen, sistem trasplantasi tumor serta pengalaman klinis memperkuat kentungan pengobatan kemoterapi dosis tinggi pada tumor padat yang sensitif 3. Namun demikian, definisi kemoterapi dosis tinggi dengan cepat berubah dan tetap merupakan konsep yang dinamis. Sebagai salah satu cara penanganan pasien kanker, telah menjadi lebih komprehensif dan efektif terutama dengan diperkenalkannya faktor – faktor pertumbuhan hematopoeitik. Bila penggunaan kemoterapi dosis tinggi digabung dengan transplantasi sumsum tulang atau bersamaan dengan penanganan sel – sel muda darah perifer (peripheral blood stem cell support), maka disebut kemoterapi megadose. 

Agen alkilasi merupakan bahan yang terbaik untuk digunakan dengan dosis yang ditingkatkan selama toksisitas ekstrameduler pada dosis tinggi relatif rendah. Diketahui bahwa tumor yang residif setelah pemberian kemoterapi dosis tinggi merupakan masalah yang penting dan perlu pengobatan. Tumor yang kemosensitif yang tidak diterapi dengan dosis konvensional merupakan calon untuk kemoterapi megadose. Sekarang ini kemoterapi dosis tinggi diikuti dengan infus berulang sumsum tulang autolog atau PSBC pada anak – anak sangat penting terutama untuk pengobatan metastase neuroblastoma, sarkoma Ewing stadium lanjut, tumor otak yang residif dan limfoma yang refrakter. Transplantasi sumsum tulang alogenik dilakukan terutama untuk mengobati leukemia atau setelah induksi pengobatan pasien pada saat risiko tinggi kekambuhan. 

Farmakologi Klinis 

Tujuan utama penelitian farmakologi klinis terhadap obat – obatan antineoplastik adalah untuk meningkatkan efektifitas pengobatan kanker dengan toksisitas yang terbatas 3. Farmakokinetik dan farmakodinamik merupakan dua aspek yang sangat kuat dalam farmakologi klinik. Farmakokinetik mempelajari suatu obat dan hasil metabolitnya pada beberapa tempat yang berbeda dalam tubuh dalam waktu kerjanya. Farmakodinamik menerangkan mengenai efek obat antineoplastik pada tumor dan pengaruh yang merusak jaringan normal. Ukuran untuk farmakokinetik biasanya dimulai dari pengukuran secara serial dari kadar dalam plasma, menunjukkan keadaan obat di dalam tubuh. Beberapa isitilah farmakokinetik yang paling sering digunakan untuk menerangkan tentang absorbsi, metbolisme, distribusi dan eliminasi dari suatu obat : 
  1. Area under the curve (AUC) : adalah daerah dibawah kurva konsentrasi dalam plasma, menunjukkan kuantitas obat yang dinyatakan dengan konsentrasi dikalikan dengan waktu (plasma concentration time)
  2. Bioavailabilitas : jumlah obat yang diabsorbsi, menunjukkan persentasi dari dosis yang diberikan. Pada umumnya digunakan untuk mengevaluasi absorbsi obat yang diberikan peroral. 
  3. Clearance : kecepatan eliminasi obat. Meliputi seluruh mekanisme pembuangan, termasuk proses metabolisme ginjal dan ekskresi bilier. Dinyatakan dalam mL/menit. 
  4. Waktu paruh (half-life) : waktu yang dibutuhkan untuk konsentrasi obat menjadi setengahnya. Fase distribusi cepat awal (initial rapid distribution phase) dalam plasma biasanya disebut alfa dan fase eliminasi akhir (terminal) disebut beta. 
  5. Volume of Distribution: merupakan teori tentang volume plasma yang diperlukan untuk melarutkan suatu dosis obat yang diberikan kemudiandiobservasi konsentrasi dalam plasma. Hal ini menunjukkan karakteristik dari obat, dan bukan volume compartment physiology. 3
Saat ini pengaruh farmakokinetik terhadap respons dari tumor dan toksisitasnya setelah dapat dijelaskan secara lebih terperinci (Rodan dan kawan - kawan 1993). Parameter farmakokinetik telah memperlihatkan hubungan erat dengan respon tumor pada hanya sedikit penelitian kasus anak. Anak dengan clearance sistemik yang tinggi terhadap metotreksat (MTX) mempunyai kemungkinan relaps yang lebih tinggi (Evans dan kawan - kawan 1984). 

Pengawasan terapi obat – obatan pada disiplin ilmu lain seperti kardiologi dan neurologi lebih perlu dalam rangka memperoleh efek terapeutik yang optimal dengan menghindari kurang dosis atau kelebihan dosis (under and overdosage) yang disebabkan oleh variabilitas farmakokinetik. Pada onkologi, walaupun indeks terapeutiknya rendah dan risiko toksisitas yang mengancam nyawa, dengan pengecualian pemakaian dosis tinggi metotreksat pada terapi metotreksat dosis tinggi, pengawasan terapi obat belum rutin dilakukan. Tidak adanya pengujian obat yang sensitif dan sederhana serta penentuan batasan terapeutik, sebagaimana juga tidak dihubungkannya antara kadar metabolit aktif dalam plasma dan intrasel adalah salah satu alasan mengapa pengawasan obat pada pasien sangat sedikit dilakukan. Oleh karena itu pada sejumlah penelitian farmakokinetik dan farmakodinamik, dosis obat tetap dihitung berdasarkan luas permukaan badan (LPB) atau berdasarkan berat badan untuk hampir semua obat antineoplasma pada anak. Formula dosis dewasa telah dimodifikasi untuk anak – anak oleh Newell dan kawan – kawan (1993), filtrasi glomerulus (GFR) dan eliminasi non-renal, yaitu 3 : 

Dosis (mg) = target AUC x GFR + 0,36 x berat badan (kg) 

Intensitas peningkatan dosis (mg/m2 per minggu) merupakan variabel kemoterapi kanker pada sejumlah penelitian klinik pada orang dewasa dan anak (Ozols dan kawan – kawan 1993). Meskipun keabsahan dari cara ini belum dikonfirmasikan dengan penelitian prosektif secara acak pada anak, intensitas dosis kemoterapi yang tertinggi harus disesuaikan dengan toleransi penderita. 

Efek farmakokinetik obat – obat yang berubah – ubah yang disebabkan oleh disfungsi organ dapat merupakan penyebab utama meningkatnya toksisitas. Bila terjadi perubahan ekskresi, penurunan dosis harus disesuaikan guna menghindari toksisitas yang lebih besar lagi. Pada akhirnya, penghitungan dosis per unit luas permukaan badan (LPB) dapat meningkatkan toksisitas pada bayi, dimana anak kecil mempunyai LPB yang lebih tinggi per kg dibandingkan orang dewasa 3. Pada anak dibawah 1 tahun, atau dengan LPB kurang dari 0,5 m2, perhitungan dosis biasanya berdasarkan pada berat badan. Woods dan kawan – kawan (1981) pertama kali menganjurkan perlunya menghitung kemoterapi berdasarkan berat badan setelah mengobservasi terjadinya bahaya neuropati dan hepatotoksik pada anak yang diterapi dengan dosis vinkristin yang berdasarkan luas permukaan badan 3. Telah dilaporkan banyak kasus lain akibat kemoterapi yang berhubungan dengan toksisitas yang berlebihan (overwhelming toxicity) pada bayi. Saat ini dianggap lebih praktis untuk menghitung dosis per kilogram pada bayi dimana tidak adanya penelitian farmakokinetik dan farmakodinamik. 

McLeod dan kawan – kawan (1992). Walaupun pada sejumlah kecil pasien dapat membedakan ketentuan obat antikanker untuk bayi dibawah 1 tahun dan anak diatas 1 tahun. Diperlihatkan pada penggunaan sitarabin dengan dosis berdasarkan LPB hasilnya hampir sama dengan sistem berdasarkan berat badan untuk kedua golongan umur. Diperkirakan bahwa perhitungan dosis berdasarkan berat badan dapat menghasilkan kurang dosis (under-dosing) pada anak dibawah 1 tahun 3. Clearance metotreksat setelah pemberian dosis tinggi metotreksat dengan pemberian leukovorin cenderung lebih rendah pada anak dibawah 1 tahun; bagaimanapun penurunan dosis tidak diperlukan pada golongan umur ini. Sebaliknya terlihat pada adriamisin lebih baik pemberian dengan dosis berdasarkan berat badan dibandingkan dengan LPB. Kesimpulannya, perhitungan dosis berdasarkan berat badan dapat dianjurkan untuk sebagian obat sedangkan untuk beberapa obat lain, dapat menyebabkan hasil yang rendah secara sistemik. Akan lebih bijaksana bila selalu menggunakan dosis per kilogram pada bayi saat pemberian dosis pertama dan bila tidak terjadi toksisitas, dosis dapat dinaikkan secara bertahap dengan obat antineoplasma terpilih. 

Farmakologi Susunan Saraf Pusat 

Farmakologi susunan saraf pusat mendapat banyak perhatian dari para onkolog pediatri sejak leukemia susunan saraf pusat ditemukan sebagai komplikasi dari leukemia limfositik akut (LLA) dan tumor otak yang paling sering pada anak adalah neoplasma yang padat 2,3. Testis dan susunan saraf pusat telah lama diduga merupakan tempat yang terlindung dari efek farmakologi, sejak diketahui pada penderita leukemia limfositik akut yang mengalami relaps. Pada interstisial testis walaupun sel leukemik ditemukan secara khas namun belum ditemukan hambatan farmakologis (Riccardi dan kawan – kawan 1982). Sedangkan pada susunan saraf pusat, sawar darah otak memperlihatkan hambatan (barrier) fisiologis yang dibentuk oleh endotel kapiler otak.

Farmakokinetik obat antineoplasma pada susunan saraf pusat sangat jelas berbeda dari bagian tubuh yang lain. Sawar darah otak menghambat masuknya sebagian besar obat antineoplasma ke dalam susunan saraf pusat pada konsentrasi terapeutik 3. Barrier ini tidak sama keutuhannya pada tumor otak, dimana terlihat berfungsi di sebagian besar area pada tumor. Ukuran molekul, liposolubilitas dan muatan listrik (electrical charge) merupakan karakteristik fisikokemikal yang mempengaruhi penetrasi obat ke dalam susunan saraf pusat (Roll dan Zubrad 1962). Ikatan protein merupakan faktor tambahan karena setelah obat membentuk ikatan dengan protein, maka akan terjadi suatu bentuk yang terlalu besar untuk dapat melalui sawar darah otak. Penelitian terakhir memperlihatkan bahwa pembentukan dan pemeliharaan sawar darah otak terjadi akibat interaksi yang kompleks antara sel endotel dan faktor tropik yang dibentuk oleh astrosit 3. Resistensi berbagai obat melalui p-glikoprotein memegang peranan sentral pada pemeliharaan sawar darah otak dengan jalan ikut mengaktifkan proses timbulnya sejumlah substansi toksik yang potensial dari sel endotel otak (Schinke dan kawan – kawan 1994). Dengan dosis standar terapeutik, sebagian besar obat antineoplasma tidak dapat melalui sawar darah otak. Metotreksat dan arabinosin-c dengan dosis tinggi mencapai tingkatan yang adekuat dan dapat menimbulkan efek anti-tumor di susunan saraf pusat. Pengawasan kadar obat di cairan serebrospinal tidaklah menggambarkan kadar pada jaringan. Kadar di jaringan mungkin jalan terbaik untuk mengevaluasi penetrasi ke dalam massa tumor dari obat antineoplasma yang diberikan 3. 

Resistensi Obat 

Resistensi terhadap obat masih merupakan rintangan utama dalam hal pengobatan tumor 3. Baik faktor farmakologis maupun seluler mungkin menjadi penyebab resistensi obat. Konsentrasi obat terutama tergantung pada dosis dan lamanya masa infus. Pengaruh obat mungkin dibatasi oleh lokasi tumor (misalnya dalam susunan saraf pusat) atau oleh jumlah darah yang terbatas di beberapa daerah tumor. Namun, jikapun pengaruh terhadap sel tumor dapat dicapai secara optimal, sejumlah faktor seluler mungkin merupakan penyebab resistensi obat. Berkurangnya aliran obat ke dalam sel, metabolisme obat yang tidak sempurna ke arah senyawa aktifnya, dan resistensi terhadap aneka obat (multidrug resistance).

Multidrug resistance terjadi dengan timbulnya jenis – jenis sel kanker baru yang menolak tidak saja obat – obat yang sebelumnya efektif tetapi juga obat – obat antineoplastik yang secara kimiawi tidak berhubungan dengan sel yang sebelumnya tidak terpengaruh obat antineoplasma 3. Obat – obat yang berkaitan dengan multidrug resistance adalah obat dengan molekul hidrofobik yang dihasilkan dari bahan alami, misalnya alakaloid vinka, daktinomisin. Pada umumnya, obat – obat ini tidak memiliki sasaran sitotoksik yang sama dalam sel. 

Efek Samping 

Pada dosis terapeutik, mielosupresi, alopesia dan mukositis biasanya merupakan toksisitas yang dapat diprediksi dari kebanyakan obat antineoplasma 3. Mual dan muntah merupakan efek langsung terhadap jalur garstrointestinal dan / atau stimulasi dalam zona pemicu kemoreseptor (chemoreceptor trigger zone) pada ventrikel empat.. Penggunaan dari inhibitor dari reseptor 5HT3 telah sangat menurunkan insidens efek samping akut dari obat antineoplasma. 

1. Toksisitas pada ginjal

Penurunan fungsi ginjal bukan peristiwa yang jarang pada pasien yang diterapi kanker. Sisplatin menyebabkan kerusakan pada tubulus yang reversibel dalam 3 – 4 minggu 3. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian cairan & diuretik. Metotreksat dosis tinggi juga dapat menyebabkan terbentuknya presipitat di tubuli yang reversibel dalam 2 – 3 minggu. Hal ini dicegah dengan pemberian cairan, alkalinisasi urin dan menghindari pemberian obat salisilat dan sufametoksazol. 

2. Hepatotoksik

Metotreksat dosis tinggi sering menyebabkan peningkatan enzim hati dan fibrosis hati 3. Aktinomisisn-D menyebabkan hepatomegali, jaundice dan asites. 

3. Neurotoksik 

Neuropati merupakan toksisitas yang paling sering membatasi dosis vinkristin 3. Keracunan meliputi susunan sensorik dan motorik, dan adanya rasa sakit. Sebagai tambahan adanya rasa sakit, aa kemungkinan terjadi hilangnya refleks tendon dan parestesia pada jari tangan dan kaki. Footdrop dan wristdrop adalah gejala awal neuropati. 

Ototoksik dari sisplatin berhubungan dengan dosis kumulatif dan berakibat pada menurunnya ketajaman pendengaran diatas 2000 Hz.

Meskipun sangat jarang terjadi pada anak – anak efek samping yang serius dari kegagalan fungsi otak dan serebelum dapat diamati pada pasien yang menerima dosis tinggi ara-C. Gejalanya meliputi ataksia, disartria dan nistagmus. Toksisitas tampaknya berhubungan erat dengan dosis dan risikonya meningkat pada dosis total yang melampaui 24 gram/m2 3.

Metotreksat intratekal bisa menyebabkan iritasi meningen dan araknoiditis dalam 2 – 34 jam setelah pengobatan dan bisa berlangsung selama 12 - 72 jam. Gejalanya adalah sakit kepala hebat, leher kaku, muntah, letargi, demam dan kadang pleiositosis dari cairan serebrospinal. Gejalanya berhubungan dengan dosis kumulatif. 

4. Kardiotoksik 

Timbulnya insidens kardiomiopati meningkat pada dosis kumulatif 450 mg/m2 untuk adriamisin dan 600 mg/m2 untuk daunorubisin. Kegagalan jantung biasanya timbul dalam waktu 1 tahun setelah terapi, namun dapat timbul 10 tahun sejak pengobatan. Subklinis yang abnormal pada ventrikel kiri, termasuk peningkatan afterload dan penurunan kontraktilitas jantung merupakan kejadian yang umum dan seringkali progresif. Oleh karena itu, pemantauan jantung yang berkelanjutan seumur hidup direkomendasikan pada pasien yang berhasil selamat dengan pengobatan antrasiklin 3. 

5. Toksisitas pada paru

Bleomisin paling sering menyebabkan toksisitas pada paru. Tapi penggunaannya pada anak adalah jarang.

No comments:

Post a Comment

Advertisement

Lagi Naik Daun