Farmakokinetika klinik adalah penerapan prinsip-prinsip farmakokinetik yang meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi dalam penanganan penderita baik secara langsung ataupun tidak. Farmakokinetika klinik sangat berguna terutama untuk tuntunan penentuan aturan dosis (dosage regimen) yang menyangkut besarnya dosis dan interval pemberian dosis, terutama untuk obat-obat dengan lingkup terapeutik yang sempit seperti teofilina, digoksin, fenitoina, fenobarbital, lidokain, prokainamida dan lain-lain. Terdapat beberapa parameter yang sering diukur di dalam studi farmakokinetika klinik untuk menilai tentang bagaimana kinetika obat di dalam tubuh yaitu bioavailabilitas, volume distribusi, klirens, waktu paruh dll. Studi farmakokinetika klinik menjadi suatu keharusan di dalam pengembangan obat-obat baru terlebih setelah diketahui adanya keanekaragaman antar etnik dan antar individu yang dikenal sebagai polimorfisme genetik dan adanya faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi proses kinetika obat (terutama metabolisme).
Pengaruh klinik atau terapeutik suatu obat pada seorang pasien sebenarnya merupakan hasil dari daya farmakologi obat tersebut, di mana hal yang terakhir ini akan sangat tergantung pada kadar yang bisa dicapai pada tempat kerja obat (reseptor). Sayangnya, pengukuran kadar obat pada reseptor hampir selalu tidak dimungkinkan. Namun demikian, karena setiap perubahan kadar obat yang terukur dalam cairan darah secara praktis akan mencerminkan perubahan pada reseptor, dengan pengukuran kadar obat dalam cairan darah akan bisa diperhitungkan atau diramalkan tingkat aktifitas farmakologik yang tercapai.
Tinggi rendahnya kadar obat dalam cairan darah merupakan hasil dari besarnya dosis yang diberikan, dan pengaruh-pengaruh proses-proses alami dalam tubuh mulai dari absorpsi, distribusi, metabolisme sampai ekskresi obat. Dengan melihat alur peristiwa yang tergambar pada bagan di atas, sebenarnya farmakokinetika merupakan analisis matematika dari proses-proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat.Perlu dicatat, walaupun perkembangan teknologi modern saat ini telah memungkinkan kuantifikasi kadar sebagian besar obat dalam cairan biologik, misalnya saja dengan teknik kromatografi gas, kromatografi cairan tekanan tinggi (high pressure liquid chromatography; HPLC), spektrometri massa (mass spectrometry) dan lain-lain, tetapi kuantifikasi aktifitas maupun pengaruh klinik obat bukan merupakan pekerjaan yang gampang, kalau tidak bisa dikatakan sangat sulit. Sehingga sampai saat ini farmakokinetika hampir selalu diartikan sebagai studi kuantitatif dari proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat. Penerapan prinsip-prinsip farmakokinetika yang meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat dalam penanganan penderita secara langsung atau tidak dikenal sebagai farmakokinetika klinik.6
Manfaat
Studi farmakokinetika klinik digunakan untuk memeriksa absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi suatu obat yang masih dalam tahap investigasi pada subyek yang sehat ataupun pada pasien. Data yang diperoleh pada studi ini sangat berguna untuk desain uji klinis. Data yang diperoleh dari studi farmakokinetika klinik ini pun dapat berguna untuk evaluasi keamanan obat dari obat-obat baru. Saat ini, studi farmakokinetika banyak dilakukan untuk pengembangan obat-obat baru.
Manfaat penerapan farmakokinetika bagi kepentingan penanganan penderita adalah untuk tuntunan penentuan aturan dosis (dosage regimen) yang menyangkut besarnya dosis dan interval pemberian dosis, terutama untuk obat-obat dengan lingkup terapeutik yang sempit seperti teofilina, digoksin, fenitoina, fenobarbital, lidokain, prokainamida dan lain-lain.6,7 Manfaat lain dari farmakokinetika adalah mempelajari faktor-faktor yang dapat menipengaruhi proses-proses biologik yang dialami oleh obat dalam tubuh mulai dari absorpsi, distribusi, metabolisme maupun ekskresi. Termasuk di sini misalnya faktor-faktor genetik maupun lingkungan baik lingkungan internal maupun eksternal tubuh. Misalnya dengan mengukur parameter kinetika eliminasi (khusus untuk metabolisme) suatu obat dalam satu populasi, dapat diidentifikasi kemungkinan adanya sub populasi yang lain dari umumnya anggota populasi dalam hal kemampuan metabolisme obat tertentu. Pengukuran waktu paruh INH dalam suatu populasi akan memberikan gambaran distribusi frekuensi yang polimodal, di mana individu-individu dalam populasi terbagi secara genetik ke dalam kelompok -kelompok asetilator cepat dan asetilator lambat. Contoh lain, peristiwa-peristiwa saling mempengaruhi (antar aksi obat) dalam tingkat proses-proses biologik absorpsi, distribusi, metabolisme maupun ekskresi dipelajari dan dievaluasi secara in vivo, baik pada orang sakit ataupun penderita, dengan pendekatan farmakokinetika yakni dengan pengukuran-pengukuran parameter-parameter kinetika peristiwa -peristiwa di atas. Misalnya, hambatan metabolisme primidon oleh karena INH dibuktikan secara klinik dengan adanya pemanjangan t½ primidon sesudah pra-perlakuan INH dibandingkan tanpa pra-perlakuan INH.6
Penelitian-penelitian dalam farmakokinetika klinik menjadi suatu hal penting disebabkan karena adanya keragaman antar etnik dan keragaman antar individu dalam suatu populasi sebagaimana telah diuraikan di atas. Salah satu permasalahan yang sering menjadi bahan pertanyaan dalam berbagai keadaan itu apakah data kinetika suatu obat dari satu kelompok etnik (dalam hal ini umumnya didapat dari ras Kaukasoid) bisa dipakai sebagai dasar untuk pembuatan pedoman aturan dosis dan pemberian pada kelompok etnik lain (ras Negroid dan Mongoloid)? Jawabannya bisa dua kemungkinan, ya dan tidak. Ini mungkin karena tidak ada perbedaan yang bermakna secara klinik dalam parameter–parameter farmakokinetika antara masing -masing kelompok etnik. Kemungkinan lain, untuk beberapa obat ternyata perbedaan-perbedaan antar kelompok etnik ini cukup bermakna klinik sehingga memerlukan penyesuaian aturan-aturan dosis pada kelompok etnik lain sesuai dengan parameter-parameter kinetik yang didapat pada populasi yang bersangkutan.
Keaneka ragaman antar etnik ini mungkin disebabkan karena adanya perbedaan dalam frekuensi gen dalam populasi yang bersangkutan untuk variasi obat yang di bawah pengaruh gen monogenik (polimorfisme genetik) atau oleh karena perbedaan-perbedaan dalam faktor-faktor lingkungan internal maupun eksternal yang bisa berpengaruh terhadap proses-proses kinetika (terutama metabolisme).
Parameter dalam farmakokinetika klinik
Dalam membahas mengenai sudi farmakokinetika klinik, terdapat empat hal yang penting yaitu meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.
Absorpsi : yaitu suatu proses dimana suatu obat masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Di dalam studi farmakokinetika klinik yang menilai mengenai absorpsi, informasi mengenai kadar suatu obat dalam darah menjadi penting, karena hal itu akan berkaitan dengan cara pemberian obat. Kadar obat di dalam darah tentu akan berbeda jika obat diberikan secara oral dibandingkan dengan pemberian obat secara intravena. Untuk menilai keefektifan obat memasuki sirkulasi sistemik, tentu saja terdapat beberapa parameter yang harus dinilai meliputi bioavailabilitas yaitu fraksi obat dalam bentuk yang tidak berubah yang mencapai sirkulasi sistemik setelah pemberian melalui jalur apa saja, laju absorpsi dan banyaknya absorpsi. Untuk dosis obat intravena, bioavailabilitas diasumsikan sama dengan satu. Pada perbandingan cara pemberian oral dan intravena, perhitungan bioavailabilitas dan rasio absorpsi menjadi penting untuk mengklarifikasi pengaruh eliminasi lintas pertama (first-pass effect) yang terjadi pada pemberian oral. Untuk obat yang diberikan secara oral, bioavailabilitasnya mungkin kurang dari 100% berdasarkan dua alasan utama: banyaknya obat yang diabsorpsi tidak sempurna dan adanya eliminasi lintas pertama.
Distribusi, Satu parameter yang penting adalah mengenai volume distribusi (Vd). Volume distribusi adalah suatu volume yang mengandung sejumlah obat pada cairan-cairan tertentu di dalam tubuh (volume hipotesis penyebaran obat dalam cairan tubuh). Volume distribusi menghubungkan jumlah obat dalam tubuh dengan konsentrasi obat (C) dalam darah atau plasma.
Vd : Obat–obat yang memiliki volume distribusi yang sangat tinggi mempunyai konsentrasi yang lebih tinggi di dalam jaringan ekstravaskular daripada obat-obat yang berada dalam bagian vaskular yang terpisah, yakni obat-obat tersebut tidak didistribusikan secara homogen. Sebaliknya, obat-obat yang dapat bertahan secara keseluruhan di dalam bagian vaskular yang terpisah, pada dasarnya mempunyai kemungkinan minimum Vd yang sama dengan komponen darah di mana komponen-komponen tersebut didistribusi.
Metabolisme, Proses alternatif yang memiliki kemungkinan menuju pada penghentian atau perubahan aktivitas biologis adalah metabolisme. Peran metabolisme dalam inaktivasi obat-obat larut lemak cukup luar biasa. Sebagai contoh, barbiturate lipofilik seperti thiopental dan pentobarbital mempunyai waktu paruh yang sangat panjang kalau bahan tersebut tidak dimetabolisme menjadi senyawa larut air. Dalam hal tertentu, sebagian besar biotransformasi metabolik terjadi pada suatu tahap diantara penyerapan obat ke dalam sirkulasi umum dan eliminasi melalui ginjalnya. Beberapa transformasi terjadi di dalam lumen usus atau dinding usus. Secara umum, semua reaksi ini dapat dimasukkan dalam satu dari dua kategori utama yang disebut reaksi-reaksi fase I dan fase II. Metabolisme yang terjadi di usus halus harus diperhitungkan pada saat pemberian obat secara oral oleh karena isoform enzim sitokrom P450 ( CYP3A4) banyak dijumpai dalam usus halus. Dapat dikatakan bahwa metabolime merupakan proses awal dari ekskresi.
Ekskresi, Parameter yang penting adalah klirens (clearance), yaitu suatu faktor yang memprediksi laju eliminasi yang berhubungan dengan konsentrasi obat.
Penting untuk memperhatikan sifat aditif dari klirens. Eliminasi obat dari tubuh meliputi proses-proses yang terjadi di dalam ginjal, paru, hati dan organ lainnya. Dengan membagi laju eliminasi pada setiap organ dengan konsentrasi obat yang menuju pada organ menghasilkan klirens pada masing-masing organ tersebut. Kalau digabungkan, klirens-klirens yang terpisah ini sama dengan klirens sistemik total. Dua lokasi utama eliminasi obat adalah kedua ginjal dan hati. Klirens dari obat yang tidak berubah di dalam urine menunjukkan klirens ginjal. Di dalam hati, eliminasi obat terjadi melalui biotransformasi obat induk pada satu metabolit atau lebih, atau ekskresi obat yang tidak berubah ke dalam empedu atau kedua-duanya.
Contoh Kasus
Misalnya: jika dalam suatu unit darurat dihadapi seorang penderita status asmatikus berat, di mana sebagai tindak lanjut diagnosis dan evaluasi klinik diputuskan untuk memberikan terapi teofilina per infus. Dengan melihat beratnya serangan asma yang diderita, klinikus menginginkan kadar teofilina dalam keadaan tunak (steady state = Css) sebesar 12 ug/ml. Untuk menentukan berapa kecepatan infus yang perlu diberikan, dan berapa besarnya bolus yang diberikan bisa diperhitungkan dari perhitungan-perhitungan farmakokinetika yaitu
Kecepatan infus = Cl x Css.............................................................................. (rumus 1)
Cl adalah klirens tubuh total, yakni menggambarkan kemampuan individu untuk mengeliminasi obat yang ditunjukkan dengan besarnya volume darah yang dibersihkan dari obat per unit waktu.
Karena, Cl = Vd x K el ............................................................................... (rumus 2)
Maka, Kecepatan infus = V d x K el x Css ........................................................ (rumus 3)
Ket: Vd = volume distribusi yang merupakan volume hipotetis penyebaran obat dalam cairan tubuh
K el = tetapan kecepatan eliminasi obat per unit waktu
Persamaan (3) juga bisa ditulis seperti berikut,
Kecepatan infus = Vd x (0,693/t1/2) x Css............................................................ (rumus 4)
Ket: t1/2 adalah waktu paruh obat yang menggambarkan waktu yang dibutuhkan untuk mengubah jumlah obat di dalam tubuh menjadi separuh dari jumlah sebelumnya.
Karena jika infus diberikan dengan kecepatan yang sudah diperhitungkan tadi, kadar obat dalam keadaan tunak (steady state) baru akan tercapai 4 x, maka untuk kasus-kasus berat seperti di atas perlu diberikan suatu dosis pengisi (loading) agar tercapai Css dalam waktu cepat
Besarnya dosis pengisi dapat diperhitungkan,
Dosis pengisi (loading dose) = kecepatan infus / K el .......................................... (rumus 5)
Atau = Vd x Css............................................................... (rumus 6)
Pada contoh di atas, kadar terapeutik bisa dicapai dengan memperhitungkan kecepatan infus jika bisa diketahui nilai volume distribusi (Vd) maupun waktu paroh (t1/2) dan bioavailabilitas. Dari contoh tersebut, kita dapat menentukan aturan dosis dan pemberiannya setelah parameter-parameter kinetika yang diperlukan bisa diketemukan. Namun yang menjadi persoalan adalah perlu atau tidaknya menentukan parameter kinetika terlebih dahulu sebelum menentukan aturan dosis dan pemberiannya pada setiap penderita. Dalam buku-buku standar farmakologi klinik atau farmakokinetika, sebenarnya data mengenai parameter-parameter farmakokinetika dari berbagai obat bisa dicari dan dijadikan pedoman untuk memperkirakan nilai parameter kinetika yang diperlukan (approximate value). Namun demikian perlu dicatat hal-hal sebagai berikut:
- Sebagian besar (hampir semua) data kinetika obat didapatkan pada orang-orang Barat (ras Kaukasoid), dan makin banyak diketahui adanya variasi antar etnik yang cukup bermakna untuk beberapa obat.
- Keaneka-ragaman antar individu dalam satu populasi dari satu kelompok etnik untuk berbagai obat sering terlalu besar untuk bisa diambil suatu nilai perkiraan rata-rata yang dapat diterapkan pada setiap individu.6,7
Berikut ini adalah penelitian yang menunjukkan mengenai keanekaragaman pada proses kinetika dalam hal ini metabolisme. Misalnya, keaneka ragaman metabolisme isoniazid yang berupa reaksi asetilasi menjadi asetil-isoniazid. Individu-individu dalam populasi terbagi menjadi asetilator cepat dan asetilator lambat, di mana ciri genetik masing -masing di bawah gen dominan (R) dan resesif (r). Frekuensi asetilator pada masing masing kelompok etnik sangat berbeda. Pada ras Mongoloid sebagian besar tergolong ke dalam asetilator cepat dengan nilai waktu paro (t½) kurang dari 2 jam, sedangkan pada ras Kaukasoid atau Negroid frekuensi asetilator cepat, sedikit lebih rendah dari pada asetilator lambat. Pada gambaran histogram, frekuensi distribusi waktu paro INH dalam kepustakaan nilai antimode yang memisahkan asetilator cepat dan lambat disebutkan 2 jam, di mana nilai waktu paro INH kurang dari 2 jam adalah asetilator cepat . Penelitian terhadap orang-orang Indonesia suku Jawa menunjukkan; nilai antimode t½-INH yang memisahkan asetilator cepat dan lambat tidak terletak pada nilai 2 jam, tetapi antara 2½-3½ jam. Mengapa bisa terjadi pergeseran distribusi nilai t½-INH ini sulit diterangkan. Tetapi analisis lebih lanjut dari data kinetika yang didapat menunjukkan, nilai rata-rata volume distribusi (Vd) pada subyek -subyek Indonesia Jawa tadi sebesar 89% ± SEM 3%berat badan. Nilai volume distribusi pada kepustakaan rata-rata dilaporkan sebesar 61%. Jika dilihat rumus,
T1/2= (0,693. Vd)/ Cl
Maka kemungkinan pergeseran ke kanan nilai antimode yang memisahkan asetilator cepat & lambat pada populasi Indonesia-Jawa menjadi antara 2½-3½ jam dibandingkan dengan nilai 2 jam pada ras Kaukasoid, disebabkan oleh karena tingginya nilai volume distribusi .
Perlu dicatat bahwa perlu tidaknya untuk melakukan penyesuaian aturan dosis pada suatu populasi tidak hanya dengan melihat perbedaan parameter kinetika (misalnya t½) tetapi juga mempertimbangkan lebar & sempitnya lingkup terapeutik(therapeutic range) kadar obat. Untuk obat-obat dengan lingkup terapeutik yang lebar, berarti jarak antara kadar efektif minimal dan kadar toksik minimal lebar, perbedaan parameter kinetik tertentu tidak membawa konsekuensi apa-apa. Tetapi untuk obat-obat dengan lingkup terapeutik yang sempit, adanya variasi kinetika sedikit sudah membawa konsekuensi yang sangat penting.
No comments:
Post a Comment